KELABU DI UJUNG JANUARI

Oleh : Amik Widyawati*

Langit masih bersimbah gerimis, saat cakrawala mengelupas warna berganti temaram. Deburan ombak di pantai ini seakan mengantarkan ingatannya, merangkai serpihan-serpihan peristiwa yang seharusnya dilarungkan jadi kenangan. Sekelompok camar kecil menari riang dipermukaan laut. Perempuan itu terus saja mengoceh tak karuan, umpatan kebencian samar terucap dari mulutnya. Sementara lengkung pipinya basah dihujani gerimis berbaur air mata. Hembusan angin memain-mainkan ujung jilbabnya hingga menutupi sebagian wajahnya. Perempuan itu adalah ibuku. 

Tepat setahun silam.

Siang itu ombak laut lebih bersahabat dari biasanya. Maklum sekarang masih bulan Januari, kemungkinan angin masih bertiup dari arah barat daya yang membawa bibit-bibit hujan dan badai.

“Bu, saya pamit dulu mau memancing ya!”

Ada perasaan tidak enak ketika bapak berpamitan, ibu merasa keberatan untuk mengizinkannya, mengingat cuaca sering tidak menentu.

Biasanya pada musim penghujan seperti ini, para nelayan tidak melaut, dikhawatirkan perahu mereka tidak sanggup menghadapi badai yang datang tiba-tiba. Jika badai dan gelombang datang tiba-tiba saat mereka berada di tengah lautan, maka hanya ada dua kemungkinan, nelayan itu hilang tanpa jejak atau terdampar ke pantai dalam keadaan tanpa nyawa. 

Hari itu bapak berhasil menangkap ikan dorang besar. Ia paling piawai memainkan mata pancingnya, sesekali senar pancingnya diulur,lalu ditarik, digulung, dan diulur lagi. Sekelebat terlihat ikan kakap merah menyambar umpan pancingnya. Saat asyik menarik tali pancingnya, bapak tidak menyadari badai telah mengintainya. Air laut di sekitarnya mulai membuih putih, gelombang mulai meninggi, angin berhembus kencang. Air semakin kencang berputar menyeret perahunya ke dalam pusaran atau beliung. Dengan sekuat tenaga ia berusaha keluar dari pusaran itu. “Tolong…tolong…tolong..” teriaknya. Suaranya hilang ditelan deru air yang semakin deras berputar.

Saat cahaya keemasan terlukis di kaki langit, para nelayan sudah kembali dengan hasil tangkapannya. Namun, bapak belum kembali. Teman-temannya sesama nelayan saling menanyakan keberadaannya, tak satu pun yang tahu.

Wajah-wajah warga pesisir terlihat muram berkabut. Mereka berbondong-bondong keluar rumah untuk memastikan berita duka itu. Akhirnya, dengan panik warga berupaya mencari keberadaan bapak. Ada yang menggunakan kapal mesin, ada juga yang menggunakan perahu sederhana. Mereka berkuat hati menghadapi bahaya di laut pasang dan ombak garang yang mengancam. Upaya pencarian terus dilakukan hingga senja merapat. Hasil tidak didapat. Mendengar berita itu ibu menjadi lemas tak berdaya, tubuhnya nyaris roboh karena tak kuat menahan tekanan kegetiran. Ibu tak henti-hentinya merapal doa, hanyut bersama airmata yang tak kunjung surut. Semua merasa sedih atas nasib tragis yang menimpa bapak. Sampai hari ketujuh kepergian bapak, tidak ada seorang nelayan pun yang berani melaut.

 

Ibu selalu menunggu kedatangan bapak, ia bersandar di tempat biasanya bapak menambatkan perahunya di sana. Pandangannya kosong, menatap jauh ke tengah lautan. Pikirannya kacau, gelisah dimainkan angin. Umpatan kebencian sering terucap dari bibirnya 

“Aku benci laut”

“Laut terkutuk” 

“Laut yang merengut nyawa suamiku” suaranya parau mengandung beban yang menyesakkan.

Semakin hari tubuh ibu semakin kurus, kulit wajahnya mulai keriput, matanya suram dan cekung seperti lama tertusuk pisau kesedihan. Jiwanya sudah lama terpasung dalam kedukaan. Sudah tak ada lagi tetes air mata, sudah mengering, terkuras hari-hari pilu sebelumnya.

Setiap hari, sebelum senja berpulang ke pelupuk malam, aku selalu mencari ibu, pandanganku mengedar ke sepanjang pantai, lalu terpaku di tempat ibu biasa duduk menunggu bapak. Pelan aku melangkahkan kaki menuju ke sana. 

“Bu, mari kita pulang!” ajakku pelan, nyaris ditelan suara adzan maghrib yang mulai berkumandang dari kejauhan. Perih rasanya, hatiku bagai teriris sembilu menyaksikan derita ini. Aku yakin, bapak akan datang menemui kami meski dalam wujud bayangan.  

   

   

*Biodata Penulis

Nama lengkapnya Amik Widyawati, seorang pengagum senja dan hujan yang kini  berdomisili di desa Gedungan-Sumenep. Ia mempunyai nama pena Awidy_Rose yang mencintai aksara seperti kelopak mawar yang mencintai embun. Penulis masih aktif mengajar di SDI Luqman Al Hakim Sumenep. Jejaknya bisa diikuti di medsos dengan nama yang sama.

Facebook Comments

0 Komentar

TULIS KOMENTAR

Alamat email anda aman dan tidak akan dipublikasikan.