Problem Malas Belajar pada Remaja

Oleh : Wandriono, S.Pd

Abstrak
Malas belajar bukan persoalan sederhana. Masalah ini harus dipahami secara menyeluruh, terutama mencari faktor- faktor penyebab sekaligus dicarikan jalan keluar. Malas belajar khususnya pada remaja tidak bisa dibiarkan, karena memiliki dampak yang serius. Dampak yang paling fatal adalah remaja kita tidak memiliki minat sama sekali untuk belajar, dan lebih memilih kehidupan yang tidak sehat. Misalnya menjalani pergaulan bebas, narkoba, dan menganggur. Tulisan ini menyuguhkan beberapa fakta sekaligus sumbang pikiran, bahwa persoalan malas belajar harus pula didekati dengan kaca mata psikologis.
Pengantar
Tulisan Shobahussurur “Malas dan Lalai Perspektif al-Qur’an dan Sunnah menarik untuk disimak.Dengan pendekatan spiritualitas asketis dalam al-Qur’an dan Sunnah, ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an menggolongkan orang malas dan lalai sebagai orang yang zalim, kufur nikmat, lupa diri dan munafik. Untuk itu, kemalasan harus disembuhkan dengan cara-cara internal-spiritual dan eksternal-rasional. Sementara itu, disadari atau tidak, hampir semua orang, dengan kadar yang berbeda, pernah mengalami penyakit mental ini. Tak jarang kita dapati, dalam proses belajar mengajar, ada siswa yang antusias dan semangat dalam belajar, namun banyak pula di antara mereka yang malas.
Membantu siswa adalah tugas utama seorang pengajar. Hal ini menuntut pengajar (baca:guru) memahami penyebab, sekaligus mencari solusi dari problema tersebut. Dengan pendekatan psikologis, tulisan ini ingin melihat sekaligus menjelaskan apa hakekatnya belajar itu, kemudian membahas malas belajar beserta faktor penyebabnya, khususnya pada usia remaja.

 

Mengenal Teori Belajar
Dalam hidup ini, sesungguhnya manusia selalu belajar. Belajar, bukan saja melibatkan penguasaan kemampuan akademik semata, tetapi melibatkan emosi, interaksi sosial, dan perkembangan kepribadian.
Para ahli memberikan definisi yang beragam pada kata “belajar”. Belajar (learning) menurut Hilgard dan Bower adalah perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya secara berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan dalam tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya). Sementara Morgan mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai hasil dari latihan atau pengalaman.
Dengan demikian, kata kunci dari belajar adalah perubahan, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Perubahan itu ada karena individu melakukan latihan dan pengalaman. Memang belajar adalah aktivitas yang kompleks dan tidak bisa diamati secara instan. Ada siswa yang kelihatannya konsentrasi menyimak pelajaran, tetapi setelah diberi pertanyaan dia tidak mengerti materi yang baru disampaikan guru. Sesungguhnya ia belum atau tidak belajar. Para ahli psikologi mengemukakan beberapa teori belajar yang merupakan hasil eksperimentasi dan penyelidikan ilmiah. Di sini akan dijelaskan tiga teori, yaitu teori Classical Conditioning, teori Cognitive Learning, dan teori Social Learning.

Classsical Conditioning
Ivan Petrovich Pavlov adalah tokoh dari teori ini. Eksperimentasinya adalah sebagai berikut: seekor anjing dibedah, sehingga kelenjar ludahnya berada di luar pipinya dimasukkan di kamar yang gelap. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur dengan teliti air liur (saliva) yang keluar sebagai respon ketika ada rangsangan makanan ke mulutnya. Setelah percobaan diulang berkali-kali, ternyata saliva telah keluar sebelum makanan telah sampai ke mulutnya, yaitu ketika melihat piring makanan, pada waktu melihat orang yang biasa memberi makanan, dan bahkan waktu mendengar langkah orang yang memberi makanan.
Makanan merupakan perangsang alami bagi refleks keluarnya saliva. Sedangkan piring dan suara langkah kaki merupakan perangsang yang bukan sewajarnya. Dari hasil tersebut Pavlov berkesimpulan bahwa gerakan-gerakan refleks dapat dipelajari dan bisa berubah karena latihan.
Clasical Conditioning adalah sebuah teori tentang penciptaan refleks baru. Jadi, apabila stimulus yang diadakan kemudian disertai dengan stimulus penguat, maka stimulus tadi cepat atau lambat akan menimbulkan respon. Teori ini memiliki kelemahan antara lain belajar dalam teori classical conditioning seolah-olah bisa diamati secara langsung, padahal belajar merupakan proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali hanya gejalanya saja. Selain itu, teori ini terkesan sangat mekanistis seperti kegiatan mesin dan robot, padahal tiap individu memiliki self direction dan self control untuk menolak atau merespon sesuatu. Kritik selanjutnya terhadap teori ini adalah proses belajar manusia tidak bisa dianalogikan dengan perilaku hewan, karena ada perbedaan tajam antara keduanya.
Teori Cognitive Learning
Tokohnya adalah Edward Tolman Calche. Pada tahun 1932 ia melakukan eksperimen pada tikus. Dalam percobaan tersebut tikus mempelajari jalan melalui lorong yang berliku dan kompleks dalam pandangannya. Tikus yang berlari melalui lorong yang berliku tidak mempelajari urutan belok kiri atau kanan, tetapi mengembangkan suatu peta kognitif. Ia membagi tikus kepada dua kelompok. Kelompok pertama, tikus dibiarkan terlebih dahulu mengeksplorasi lorong tanpa adanya penguat seperti makanan. Dan kelompok kedua tikus yang tidak mengeksplorasi lorong. Kepada masing-masing kelompok tikus diberi penguat makanan dengan cara tikus harus menemukan jalan untuk mendapatkan makanan tersebut. Dari percobaan tersebut ternyata kelompok tikus pertama berlari lebih cepat dibanding dengan kelompok kedua karena tikus kelompok pertama telah mempelajari lay out lorong selama eksplorasi, dan peta kognitif ini membantu proses belajar melewati jalan spesifik jika makanan diberikan.
Tolman mengemukakan bahwa belajar menurut pendekatan classical conditioning semata-mata dipengaruhi oleh peristiwa eksternal atau lingkungan satu stimulus secara konsisten diikuti oleh stimulus lain dan kemudian organisme mengasosiasikannya.
Jadi menurut teori ini, tingkah laku manusia yang nampak tidak dapat diukur tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain-lain.
Teori Belajar Sosial
Teori ini sering disebut dengan teori belajar pengamatan. Tokoh utamanya Albert Bandura. Bandura berpendapat bahwa tingkah laku manusia bukan semata-mata reflek otomatis terhadap stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Lebih lanjut menurutnya manusia belajar melalui proses peniruan (imitation) dan penyajian contoh (modelling). Teori belajar sosial menekankan pembiasaan pada proses respon dan peniruan dalam hal perkembangan sosial dan moral anak didik.
Prinsip pembiasaan dalam perilaku sosial dan moral yang lazim adalah memberikan reward and punishement. Jadi, anak didik bisa membedakan tingkah laku yang menghasilkan ganjaran atau hukuman, sehingga ia dapat memilih tingkah laku mana yang baik dan buruk, sekaligus konsekuensinya.

Prinsip peniruan atau modelling mengharuskan orang tua para guru dan tokoh masyarakat memberi contoh teladan yang baik agar anak didik dapat meniru dengan baik.

Faktor-faktor Malas Belajar
Anak atau remaja yang fisiknya sehat, tidak berarti mereka tidak memerlukan tes psikologis atau medis. Ketika meneliti anak yang rendah prestasinya, para ahli menyarankan agar dilakukan penelitian secara menyeluruh, menyangkut edukasi, psikologi, sosiologi dan neurologi. Bahkan prosentasi yang menyangkut neurologi mencapai 17-27%, dan kemungkinan untuk sembuh pada anak-anak dan remaja lebih besar daripada orang dewasa.
Dalam studi psikologi, fase usia remaja kira-kira berawal dari usia 12 sampai akhir usia belasan, saat pertumbuhan fisik hampir lengkap. Secara objektif kondisi social, psikologis, dan pendidikan remaja di tanah air kita sangat memprihatinkan. Mereka tidak saja malas belajar, tetapi tidak memiliki kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak mengerjakan tugas dan PR, sering membolos, seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus.
Tanpa bermaksud memukul rata (generalisasi), beberapa data kehidupan sosial remaja berikut ini membuktikan kondisi menyesakkan tersebut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Teknologi Kesehatan (P4TK) Surabaya, melakukan penelitian pada tahun 2005, menyebutkan bahwa 15 persen dari 200 remaja yang menjadi responden survei P4TK mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks. Selain itu, 17 persen remaja pernah melakukan aksi raba-meraba ketika pacaran. Penelitian ini menyebutkan pula sebanyak 30 persen responden juga pernah berciuman dan berpelukan. Hasil penelitian yang melibatkan remaja usia 10-19 tahun ini tentu sangat mengkhawatirkan. Sebab, gaya hidup yang tidak sehat, seperti hubungan kelamin, meraba, dan deep, kissing membuat angka aborsi dan angka kematian remaja putri jadi tingi. Tahun lalu, jumlah aborsi di Indonesia berkisar 2,5 juta, separo di antaranya dari kalangan remaja. Di tempat berbeda, hasil penelitian YKB menunjukkan bahwa sebanyak 10,3 persen dari 3594 remaja di kota besar di Indonesia telah melakukan hubungan seks bebas. Zondervan, mahasiswa Belanda, menemukan angka 60 persen remaja sudah pernah melakukan hubungan seksual. Jika diamati, grafik jumlah perilaku seks bebas ini terus meningkat. Demikian pula angka kemiskinan dan kebodohan di Indonesia terus merangkak naik. Data BPS 2002 menunjukkan 64,5% dari penduduk miskin dan berpendidikan rendah Indonesia, tidak tamat SD dan tidak bersekolah sama sekali. 43,9% di antaranya buta huruf, di mana 79,6%-nya adalah wanita. Data ini banyak tidak berubah. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin lebar perbedaan antara partisipasi pendidikan wanita dan laki-laki. Misalnya di tingkat SD persentase murid wanita adalah 49,18%, sementara di tingkat SMU siswa remaja wanita hanya sebanyak 33,28%.
Dengan kata lain, angka putus sekolah remaja Indonesia tiap tahun semakin tinggi, dan terutama dialami oleh remaja putri. Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk.  Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA,

 

Adapun lingkungan di luar diri individu, oleh Brofenbrenner di bagi dalam beberapa lingkaran yang berlapis-lapis:
Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan sebagainya yang sehari-hari ditemui oleh anak.
Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro (hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, guru- teman dsb.) yang dinamakannya sistem meso.
Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, dokter, koran, televisi dsb.
Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dsb.
Mari kita cermati uraian Prof. Sarlito secara rinci. Yang pertama adalah Sistem Makro. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi perkembangannya adalah yang paling cepat. Anak SD sekarang sudah terampil menggunakan computer. Video Betamax yang sangat modern di tahun 1980-an, sekarang sudah menjadi barang musium dengan adanya VCD (Video Digital Disc) dan yang terbaru DVD (Digital Video Disc; yang sebentar lagi pasti akan usang juga). Dampak dari perubahan cepat ini sangat dahsyat sekali. Jika dalam bidang sosial budaya kita hanya mengamati kekacauan yang sulit dimengerti, dalam politik, perkembangan dan perubahan .
Di bidang media massa dan sarana komunikasi dan perhubungan, terdapat makin banyak alternatif. Jika di tahun 1960-an hanya ada radio dan telpon yang diputar dengan tangan dan hubungan ke luar Jawa sangat langka dan lama, sekarang sudah tersedia berbagai alternatif seperti televisi fax (dari satu stasiun saja di tahun 1963, menjadi puluhan stasiun dengan sarana satelit), HP, internet, fax, bus antar propinsi (dari Banda Aceh sampai Kupang), pesawat udara (sehingga Jakarta-Jayapura hanya beberapa jam saja) dsb., sehingga hampir tidak ada lagi daerah yang masih terisolir seperti Kabupaten Lebak di zaman Max Havelaar. Dalam bidang kehidupan berkeluarga, sistem kekerabatan (keluarga besar) sudah makin ditinggalkan orang dan beralih ke pada sistem keluarga inti. Bahkan akhir-akhir ini sudah banyak orang yang memilih untuk tidak menikah (single family) atau menjadi orangtua tunggal (single parent family). Rata-rata usia menikah makin meningkat (di kalangan menengah-ke atas sudah mencapai 26 tahun dan 30 tahun bagi wanita dan pria). Pasangan nikah pun ditentukan sendiri oleh anak, bukan orangtua. Upacara-upacara perkawinan masih dilakukan secara tradisional, tetapi hanya simbolik saja, karena upacara-upacara itu sama sekali tidak mencerminkan kehidupan yang sesungguhnya dari pasangan yang bersangkutan (upacaranya berbahasa Jawa, padahal pengantin sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa, bahkan sangat boleh jadi pasangan sudah berhubungan seks jauh sebelum upacara adat yang disakralkan
itu).

Spiritualitas dan Orang Tua
Jika dicermati dengan seksama, pernyataan Prof. Sarlito di atas ada benarnya. Bahwa kondisi eksternal yang terus berubah, baik dalam skup luas politik, ekonomi, sosial, budaya memiliki pengaruh sangat signifikan pada perkembangan fisik, kepribadian, emosi, dan minat belajar siswa. Namun, ia tidak menyinggung sama sekali peran positif agama dalam menyelesaikan masalah ini.
Berpijak pada analisis Shabahussurur, kiranya penting ditekankan pada remaja kita bahwa perilaku malas belajar adalah perilaku yang sama nistanya dengan perilaku zalim, kufur nikmat, lupa diri dan munafik. Sebab, pada fase remaja, kesadaran moral kegamaan sudah berkembang sebagaimana berkembangnya kemampuan intelektual dan emosionalnya. Meski seringkali masih belum dapat stabil. Misal, dalam kondisi tentram, ia tidak begitu memerdulikan agama, tetapi sebaliknya, ketika menemui kesulitan, ia sangat memerhatikan agama, ia merasa harus dekat kepada Allah SWT melalui shalat atau membaca al-Qur’an. Jadi sikap keberagamaan yang muncul adalah sangat beragam, kadang hanya ikut-ikutan, sangsi, bimbang, tidak percaya, atau ada pula yang percaya dan yakin.
Harus diakui selama ini, pendidikan agama di sekolah umum masih belum mendapatkan porsi yang maksimal. Bahkan masih belum menyentuh pada level kesadaran anak didik. Pendidikan agama masih diajarkan sekadar formalitas belaka. Belum sampai pada penekanan bahwa agama adalah way of life bagi mereka.
Selain keringnya spiritualitas, barangkali kemalasan juga dipicu oleh kesalahan orang tua. Banyak orang tua yang merasa bahwa jika sudah memberikan sandang, pangan, papan sudah merasa cukup memberi hak anak. Mereka alpa bahwa faktor perhatian adalah sama pentingnya dengan sandang, pangan, dan papan.
Psikiater Niken Iriani menyatakan bahwa perhatian di sini meliputi : penyediaan fasilitas belajar, sapaan dan keterlibatan orangtua pada kesulitan-kesulitan yang mungkin dialami anak-anak dan remaja, silaturahmi dengan guru dan temannya anak-anak, bentuk-bentuk pendampingan kita ketika mereka belajar hingga berdoa yang tidak ada hentinya. Dari penelitian yang pernah dilakukan, ternyata remaja paling merasa diberi semangat jika selalu diingatkan oleh orang tuanya untuk belajar, dengan kalimat-kalimat .”.ayo belajar” .. . “enggak belajar to, kenapa.. sudah rampung belajarnya..dan sebagainya. Jadi, kalau selama ini orang tua sudah melakukannya, itu betul. Jika toh belum berhasil, artinya anak-anak tidak terus semangat melakukan aktivitas belajar, mungkin mereka bingung bagaimana belajar yang benar itu? Ini artinya berkaitan dengan strategi belajar, dan untuk masalah ini anak-anak bisa diajak membicarakannya secara bersama-sama.
Belum lagi jika orang tua juga kurang menyediakan fasilitas belajar yang memadai, baik fasilitas fisik maupun non fisik. Selain dari orang tua, hubungan antar saudara bisa juga menjadi pemicu semangat belajar anak. Persaingan antar saudara (sibbling rivalry) bisa berpengaruh positif maupun negative pada anak. Kebijaksanaan orang tua sangat diperlukan. Bekal dan modal utamanya adalah pengakuan bahwa tiap anak memiliki ciri dan kondisi yang memang berbeda, oleh karena itu cara mendorong, membimbing dan mengarahkannyapun sangat mungkin tidak sama antar anak satu dengan yang lain.


Referensi
Remmers dan C.G Hackett, Memahami Persoalan Remaja, terj. Zakiyah Darajat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Santrock, John W., Adolescence: Perkembangan Remaja, terj. Shinto B. Adelar, et.al., Jakarta: Erlangga, 2003.
Sarwono, Sarlito Wirawan, “Faktor-Faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas Belajar” dalam http://researchengines.com/ sarlito.html, diakses 10 Februari 2009.

Facebook Comments

0 Komentar

TULIS KOMENTAR

Alamat email anda aman dan tidak akan dipublikasikan.