MANGGA DAN CELANA SOBEK
Oleh : Amik Widyawati, S.Pd*
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 16.00. Seperti biasa Adit sudah selesai mandi dibantu oleh sang ibu.Selepas mandi sekaligus bermain air, keduanya mulai masuk ke kamar. Tubuh kecilnya masih dibalut handuk berwarna coklat, sementara Kirana, sang ibu memilihkan baju untuknya.
Kirana meletakkan baju koko dan celana panjang warna biru di samping masing-masing sisinya. Ia mulai membuka handuk, kemudian memakaikan minyak kayu putih ke tubuh mungil itu. Setelah itu, dengan mandiri, si pemilik pipi tembem itu mulai menggunakan pakaian dalam dan celana biru yang diberikan ibunya. Lalu ia memakai baju koko dan terakhir peci.
“Bu, setelah ini, saya mau main sama teman-teman , boleh ya, Bu?”
“Boleh sayang, asal mainnya jangan jauh-jauh ya, Nak! Sebelum maghrib harus sudah ngaji di masjid ya!”
“Siap, laksanakan, Ibu!
Tangan kecil miliknya terangkat memberi hormat pada sang ibu tercinta. Sambil mencium tangan ibunya, Adit berpamitan.
“Adit berangkat dulu ya, Bu! Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Tak lupa sebelum berangkat, ia mengambil toples kelereng yang ia taruh di kolong kursi teras rumahnya. Ia mengambil beberapa kelereng beraneka motif. Kemudian ia berlari kecil menuju masjid tempat ia mengaji. Namun, ketika diperempatan jalan sebelum menuju masjid, ia dicegat oleh keempat temannya.
“Kalian mau kemana? Biasanya main di depan masjid. Nih, aku sudah membawa kelereng”
Tangan kecilnya terbuka menunjukkan kelereng yang sudah ia bawa dari rumah.
“Nanti saja mainnya, ada urusan yang lebih penting” kata Doni.
“Kamu tahu kan ada pohon mangga di dekat masjid?” suara dari si gempal Arif
Adit mengangguk “Lalu?”
“Ada mangga yang matang tahu, Dit! Diantara kita cuma kamu yang paling pintar manjat pohon”
“Kita pingin sekali makan mangga yang ada di dekat masjid!” ucap Rere
“Kamu mau kan nolong kita manjat pohon mangga itu!” pinta Rani
“Oke, tapi janji ya, jangan tinggal aku sendirian”
“Siap bos!” jawab mereka berempat kompak.
***
Di masjid tempat mereka bermain dan mengaji terdapat sebuah pohon mangga yang besar. Pohon itu daunnya lebat, buahnya banyak, besar-besar dan rasanya sangat manis. Sebenarnya siapa saja boleh mengambil, asal harus izin dulu sama Pak Soleh penjaga masjid itu.
Perlahan tapi pasti, tak butuh waktu lama untuk Adit bisa memanjat pohon mangga itu.
“Dit, buruan naik dikit lagi! Itu ada mangga masak sebelah kirimu”
“Aduh, aku tidak berani naik lagi, aku takut jatuh”
“Dit, itu di belakangmu ada mangga yang mulai menguning, buruan ambil, Dit!”
Tangan kecil Adit mulai bergerak menjangkau mangga itu, dan berhasil. Namun tiba-tiba terdengar teriakan dari teman-teman yang berada di bawah pohon mangga. “Kabur...”
Sekelebat Adit melihat lelaki tua berkumis tebal itu berdiri di bawahnya . Adit tersenyum kikuk melihat Pak Soleh
“He..he..Pak Soleh”
“Hei, Dit! Ngapain kamu di situ? Ayo turun!
“Iya pak saya mau turun, tapi tolong pegangi mangga saya dulu ya, Pak!”
Setelah itu Adit mulai bergerak perlahan berusaha menuruni satu persatu batang pohon. Hingga suara sobekan celana Adit yang baru saja melompat itu berhasil membuat tawa Pak Soleh pecah. Adit sedikit merapatkan kedua kakinya guna menutupi bagian celananya yang sobek, wajahnya memerah menahan malu. Seperti biasa agenda rutin Adit setelah salat maghrib ia mengaji sampai salat isya’ lalu pulang. Tapi hari ini Adit tidak tampak di masjid.
***
Jarum jam sudah menunjukkann pukul 19.30, tapi Adit belum juga tiba di rumah.
“Pak, tumben Adit belum datang? Padahal sudah jam segini, biasanya sudah di rumah”
Kirana mulai merasa khawatir.
“Aku akan mencari Adit ke masjid, kau di rumah saja, nggak usah panik ya!”
Rahman ayah Adit segera bergegas mencari anak semata wayangnya
Sesampainya di masjid Rahman duduk di serambi masjid sembari mengedar pandangan dan menanyakan keberadaan anaknya pada anak-anak yang lalu lalang usai menunaikan salat isya’.
Namun, tak satu pun mengetahui keberadaan anaknya. Dari pintu masjid sebelah kiri Pak Soleh penjaga masjid menyapa.
“Man, kamu nyari Adit ya?”
“Iya pak, biasanya sehabis salat isya’ dia langsung pulang, tapi sampai jam segini belum pulang juga”. Pak Soleh tertawa kecil.
“Tadi sore dia ke sini sama teman-temannya sebelum maghrib, dia disuruh manjat pohon mangga, ketika lihat saya datang anak-anak langsung kabur ninggalin Adit sendirian di atas pohon mangga. Saat saya suruh turun, lompat dikit eh celananya sobek, besar lagi sobeknya ha..ha..” Setelah mendengar cerita panjang Pak Soleh, Rahman pun ikut ketawa.
“Coba sekarang kamu cari ke rumah Bu Yati, tadi dia pamit ke rumah Bu Yati untuk jahitkan celananya yang sobek, kalau pulang dengan celana yang sobek katanya takut kamu marahi”
“Baiklah pak, akan saya cari anak saya, maafkan anak saya ya pak! Terima kasih”
“Ya..ya..nggak pa-pa”
“Assalamualaikum” “Waalaikumsalam”
***
Saat di rumah Bu Yati
“Assalamualaikum” “Waalaikumsalam”
“Oh, Pak Rahman mari masuk pak!”
“Maafkan anak saya bu, telah merepotkan ibu!”
“Ndak pa-pa pak, tadi Adit datang ke sini minta tolong untuk jahitkan celananya yang sobek”
Adit hanya tertunduk melihat kedatangan ayahnya.
“Dit, ayo kita pulang, Nak! Terima kasih Bu Yati”
“Sama-sama, Pak”
Adit hanya terdiam dan mengikuti perintah ayahnya. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, ia hanya membisu, sesekali ia melirik ke arah ayahnya. Sesampainya di rumah Kirana langsung memeluk anaknya.
“Adit, coba ceritakan sama ayah dan ibu apa yang terjadi tadi sore?” tanya Rahman dengan halus. “Tadi sore kan Adit pamit sama ibu mau main kelereng sama teman-teman, tapi di tengah jalan mereka bilang ada yang lebih penting dari main kelereng, ternyata mereka pingin makan mangga, terus Adit bantu manjat pohon mangga untuk ngambil mangga yang masak. Teman-teman Adit berjanji untuk tidak ninggalin Adit sendirian di atas pohon mangga, tapi mereka ingkar janji, sampai akhirnya ada Pak Soleh datang” “Adit sedih kenapa teman-teman Adit ingkar janji, tadi Pak Soleh juga sempat minjami sarung dari masjid untuk nutupi celana Adit yang sobek”
“Sekarang ayah boleh ngomong?” Anak kecil itu mengangguk
“Adit, terima kasih sudah berani jujur, dan sudah sadar akan kesalahannya, lain kali tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan milikmu. Ayah minta tolong untuk tidak melakukannya lagi, boleh!”
Adit mengangguk cepat, sambil tersenyum lebar memamerkan gigin putihnya.
“Siap, Ayah! Maafkan Adit , dan Adit berjanji tidak akan mengulanginya lagi!”
Sembari tangan mungilnya mulai mengalung di leher milik ayahnya dan memeluknya, lalu hal serupa juga dilakukan pada ibunya.
*Penulis
Nama lengkapnya Amik Widyawati, seorang pengagum senja dan hujan yang kini berdomisili di Desa Gedungan-Sumenep. Ia mempunyai nama pena Awidy_Rose yang mencintai aksara seperti kelopak mawar yang mencintai embun. Penulis masih aktif mengajar di SDI Luqman Al Hakim Sumenep. Jejaknya bisa diikuti di medsos dengan nama yang sama.
Facebook Comments