Serpihan Kenangan

Serpihan Kenangan

Oleh : Amik Widyawati, S.Pd

Ada yang tertinggal di sana, di hutan, diantara wangi pinus dan basah kabut yang berarak perlahan melayang bagai selendang putih menari, membungkus pagi yang masih menguap malas. Kenangan itu menetap, sehangat matahari yang menyelinap malu-malu di celah dedaunan.

Hari itu, Senin dini hari. Langit masih gelap saat kami bersiap. Tas-tas besar memenuhi bahu bus, wajah-wajah penuh harap dan tawa lepas menghiasi keberangkatan kami menuju Kota Apel, Malang. Enam jam perjalanan bukan waktu yang pendek, tapi bersama canda dan tawa, jarak serasa sekedipan mata. Di dalam bus, kami seperti anak-anak kecil yang diberi permen dan kembang kapas. Di sepanjang jalan, hamparan pepohonan hijau terjulur bak permadani yang  menyembul dibatas cakrawala. Awan-awan bergelantungan manja, menyambut kami dalam dongeng yang baru saja dimulai. Rasanya seperti sedang masuk ke dunia lain yang jauh dari hiruk pikuk dan penatnya tugas-tugas.Kami ingin melepas lelah, mengisi energi dan menikmati setiap momen kebahagiaan yang akan kami ciptakan bersama

"Ada yang ingin bernyanyi?" tanya Pak Seno, kondektur bus, dengan senyum semanis pisang goreng.Tanpa menunggu aba-aba, Erna mengangkat tangan. “Boleh, Pak! Lagu ‘Kemesraan’, ya!”

Ia berdiri, menggenggam mikrofon dengan tangan bergetar kecil. Lalu, suara itu keluar lembut, merdu, menembus jantung kami yang mulai dilapisi rindu akan kenangan yang belum sempat tercipta.

Suatu hari

dikala kita duduk ditepi pantai

Dan memandang ombak dilautan yang kian menepi

Burung camar terbang

Bermain diderunya air

Suara alam ini

Hangatkan jiwa kita

Sementara

Sinar surya perlahan mulai tenggelam

Suara gitarmu

Mengalunkan melodi tentang cinta

Ada hati

Membara erat bersatu

Getar seluruh jiwa

Tercurah saat itu

Kemesraan ini

Janganlah cepat berlalu

Kemesraan ini

Inginku kenang selalu

Hatiku damai

Jiwaku tentram di samping mu

Hatiku damai

Jiwa ku tentram

Bersamamu

 

Sementara

Sinar surya perlahan mulai tenggelam

Suara gitarmu

Mengalunkan melodi tentang cinta

Ada hati

Membara erat bersatu

Getar seluruh jiwa

Tercurah saat itu

Kemesraan ini

Janganlah cepat berlalu

Kemesraan ini

Inginku kenang selalu

Hatiku damai

Jiwaku tentram di samping mu

Hatiku damai

Jiwa ku tentram

Bersamamu

Kemesraan ini

Janganlah cepat berlalu

Kemesraan ini

Inginku kenang selalu

Hatiku damai

Jiwaku tentram di samping mu

Hatiku damai jiwaku tentram bersamamu

"Aku merinding, bener, deh!" bisik Rini padaku, menggenggam tanganku yang dingin.

"Aku juga... kayak pernah di momen itu," jawabku.

Syair lagu itu seperti mantra. Kami larut. Kadangkala memang sebuah lagu bisa begitu fasihnya mengantarkan kita pada satu titik, dejavu. Mata-mata menatap keluar jendela, mungkin membayangkan pantai, gunung atau mungkin mengenang seseorang yang pernah duduk bersisian di sore yang hilang.

Tak terasa bus telah merayap masuk ke kawasan Gondanglegi. Di balik bukit, Sumber Maron menyambut kami dengan senyum basah. Air jernih mengalir deras, mengalun seperti nyanyian alam yang tak pernah putus. Kami langsung terpikat.

"Konon, katanya di sini ada tokoh spiritual, Mbah Maron," ujar Yani dengan mata membesar.

"Iya, beliau sakti. Bisa menyembuhkan penyakit hanya dengan air dari mata air ini," timpal Wawan, dengan nada seperti pencerita legenda.

Kami pun berdecak kagum. Namun, tak sempat terlalu lama terkesima, pemandu kami Mas Rangga mengajak kami bersiap-siap untuk River Tubing.

“Siapkan nyali, bukan nyali-nyalian!” serunya, mengangkat ban karet hitam sebesar roda truk.

Satu per satu, kami mulai mengapung di atas ban. Arus membawa kami menyusuri sungai yang berliku, melompati jeram kecil yang memercikkan air.

"Yahuuuuu!" teriak Ika, seperti anak kecil yang baru pertama kali merasakan sensasi terjun bebas.

“Awas batu!” seru Riya sambil tertawa histeris.

Tubuh kami terombang-ambing di antara bongkahan batu dan aliran sungai yang jernih. Tapi tak ada yang mengeluh. Bahkan saat tubuh terbanting pelan, semua masih tertawa.

“Ini gila!” teriak Fifi.

“Gila menyenangkan!” aku membalas.

Sungai seolah mengerti, memeluk kami dalam riuhnya dan mengantar kami sampai ujung perjalanan, dengan hati yang penuh kebahagiaan. Sungguh keseruan yang bikin candu, ingin melakukan terus berulang, lagi, lagi dan lagi. Diantara bongkahan batu, gemericik air yang mengalir di bawahnya, semesta menjadi saksi kebahagiaan kami.

Senja mulai menyentuh pucuk-pucuk pinus, semburat warna oranye terlukis di kaki langit. Kami kembali ke villa dengan tubuh lelah namun hati hangat.

Setela tiba di villa kami memasuki kamar masing-masing bersiap membersihkan diri lalu salat maghrib dan isya’.

"Eh, cepetan deh! Katanya mau seru-seruan, malah nungguin kamu dari tadi!" seru Ella "Aduh, sabar napa. Ini aku udah siap. HP masuk, snack masuk, dompet... Eh, dompet aku mana?!" sahut Santi panik sambil membongkar tas kecilnya."Lah?! Masa dompet ketinggalan?! Jangan-jangan janjian sama ATM di jalan," goda Nisa sambil tertawa.

Itulah kehebohan teman kami sebelum berangkat ke Malang Night Paradise, tempat wisata malam yang katanya mirip dunia dongeng yang banyak lampunya. Setelah 30 menit perjalanan akhirnya sampai juga kami di depan gerbang yang menyala-nyala bak pesta kembang api, Malang Night Paradise benar-benar hidup walau matahari sudah pulang.

"Wah, kayak negeri lampu ya, Ki!" ucapku terpukau.

"Iya, kayak masuk ke dunia mimpi!" jawab Kiki sambil nyengir lebar.

Kami masuk dan langsung disambut lorong lampu warna-warni yang bisa bikin lupa daratan. Di kanan kiri, pohon-pohon buatan menyala dengan bentuk aneh-aneh: ada yang seperti jamur raksasa, ada yang kayak bunga matahari LED."Ella! Nih, foto dulu di bawah payung warna-warni ini!" teriak Rini sambil pose gaya model iklan gamis terbaru

Lanjut lagi kami ke zona Magic Journey, ini yang katanya paling hits. Kami naik perahu kecil dan menyusuri sungai buatan dengan dekorasi tematik di setiap sudutnya. Ada zona Jepang dengan lampion merah, zona Mesir dengan mumi kinclong, zona Thailand lengkap dengan patung budha berlapis emas dan gajah putihnya, dan zona hutan dengan lampu yang bentuknya kayak mata binatang.

"Rasanya kayak naik perahu ke negeri dongeng ya?" bisikku pelan.

"Tapi dongeng versi remang-remang, romantis banget”. Ujar Ella disampingku

Puncak keseruan ada di Dino Park. Walaupun malam, tapi dinosaurus robotiknya tetap aktif bergerak dan bersuara.

"RAWRRR!!"

"AAAK! Si brontosaurus ini nyeruduk pandangan aku!" Ani langsung mundur sambil ngakak sendiri.

"Awas tuh, T-Rex-nya lagi lirik kamu. Mungkin dia naksir," godaku.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, kami harus segera menuju ke villa

Di luar, hujan mulai merintik, gerimis mengusik , menjarum satu-satu saling berkejaran. Angin mengembus, meniup gorden jendela hingga bergelombang. Aku duduk di depan villa, menggenggam segelas susu hangat.

"Begini rasanya damai," gumamku.

"Setuju," bisik Ema yang entah sejak kapan duduk di sebelahku. “Terkadang bahagia itu sesederhana segelas susu dan sahabat yang duduk diam disampingmu.”

Kami pun tertawa pelan, sebelum akhirnya malam menutup kami dalam selimut dingin. Tak terdengar lagi suara-suara obrolan keseruan tadi siang, senda gurau ,dan gelak tawa sayup- sayup hilang ditelan gulitanya malam. Sudah saatnya kami mengistirahatkan raga, menenun mimpi, mengumpulkan energi untuk esok hari. Di dalam kamar, suara napas teman-temanku menjadi lagu nina bobo terbaik malam itu.

Pagi menyapa dengan kabut tebal. Udara menggigit tulang, tapi semangat kami tak menciut. Di musala kecil villa, kami tunaikan dua rakaat penghambaan pada Sang Khalik. Di luar, mentari mulai mengintip malu-malu.

"Mentari malu-malu kucing," canda Rini saat kami keluar.

“Halah, yang penting nggak malu-maluin kayak kamu waktu jatuh dari ban kemarin,” sindir Ika, disambut tawa meledak-ledak.

Setelah sarapan, kami berkemas menuju destinasi berikutnya: kebun apel!

Hanya 15 kilometer dari villa, perjalanan terasa cepat karena kami sibuk saling mengejek dan tertawa.Begitu tiba, mataku terpaku. Hamparan pohon apel hijau berdiri anggun seperti barisan penjaga kerajaan. Di ujung tangkainya, apel-apel ranum menggoda untuk dipetik. Memang jenis apel yang kami petik berwarna hijau bercak merah rasanya segar dan sedikit masam karena bukan dari jenis manalagi melainkan apel jenis Rome beauty.

"Aku mau yang besar!" teriak Yani, melompat mencoba meraih apel yang tinggi.

“Yang masam enak buat rujak,” komentar Rini sambil mengunyah apel pertama.

“Aku sih suka yang manis, kayak aku,” seloroh Wawan, disambut lemparan apel oleh Ani.

Kami berjalan di antara pohon-pohon, tangan penuh apel, hati penuh suka cita. Angin berembus pelan, menyapu jilbab-jilbab kami dan membawa tawa kami ke penjuru langit.

“Jangan lupa foto!” seru Ida.

Kami pun berkumpul, mengangkat apel ke udara, seolah merayakan hidup yang sederhana dan penuh rasa syukur. Jepretan kamera mengabadikan momen, tapi kenangan yang paling kuat adalah yang tertanam dalam hati.

Setelah puas memetik dan membeli oleh-oleh apel, sayur, dan camilan khas Malang kami bersiap kembali ke Sumenep. Mobil melaju pelan, melewati jalan yang sama namun dengan rasa berbeda. Ada keheningan yang nyaman, bukan karena lelah, tapi karena hati kami sedang sibuk menyimpan cerita.

"Ini perjalanan paling berkesan selama hidupku," bisik Ani.

"Iya... rasanya seperti mimpi yang enggak ingin segera bangun," aku menimpali.

“Semoga kita bisa traveling bareng lagi. Tahun depan?” ajak Wawan dengan mata berbinar.

Kami semua mengangguk.

Di luar, langit mulai berubah warna. Senja menyapukan sapuan terakhirnya, seolah mengucapkan salam perpisahan.

Golden Pinus, Sumber Maron, Malang Night Paradise dan hamparan apel yang segar kini tinggal serpihan cerita. Tapi bagi kami, ia bukan sekadar perjalanan. Ia adalah untaian kenangan, ditulis dengan tinta tawa dan kertas kebersamaan. Dan serpihan kenangan itu… akan terus hidup, dalam hati yang selalu ingin kembali. Kisah ini akan terus kami kenang, terpatri dalam kalbu dan mengakar dalam kenangan.

Penulis adalah guru SD Integral Luqman Al Hakim Sumenep 

Facebook Comments

0 Komentar

TULIS KOMENTAR

Alamat email anda aman dan tidak akan dipublikasikan.